Halaman

Jumat, 25 Mei 2012

Metode Ijtihad

ISTIHSAN

adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.Definisi ISTIHSAN:


Istihsan memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih. Diantaranya adalah:

1. Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.

2. Dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.

3. Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.

4. Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.

Jenis-jenis Istihsan:

Berdasarkan dalil yang melandasinya:

Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh Al-Qur’an atau Sunnah.

Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ baik yang sharih maupun sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.

Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.

Berdasarkan kuat-tidaknya pengaruhnya:

1. Qiyas memiliki kekuatan yang lemah dan Istihsan yang kuat darinya.

2. Qiyas lebih kuat pengaruhnya dan Istihsan yang lemah pengaruhnya.

3. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki kekuatan.

4. Qiyas dan Istihsan sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.

ISTISHAB

Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.

Menurut Ibnu Qayyim istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Macam-Macam Istishab:

Istishhab berdasar penetapan akal

Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Maidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.

Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:

1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).”

2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.”

3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”

Istishhab berdasarkan hukum syara’

Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.

Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:

1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”

2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”

3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut

keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”

QAUL SHAHABI

Terdapat beberapa definisi mengenai qaul shahabi ini, di antaranya:

1.Perkataan seorang sahabat yang tersebar pada sahabat-sahabat yang lainnya tanpa diketahui ada sahabat lain yang menentangnya.

2. Fatwa seorang sahabat atau madzhab fiqihnya dalam permasalahan ijtihadiyah.

3. Madzhab sahabat dalam sebuah permasalahan yang termasuk objek ijtihad.

4. Dr. Musthafa Daib Al-Bugha mengistilahkan qaul as-shahabi dengan madzhab shahabi yaitu segala hal yang sampai kepada kita dari salah seorang sahabat Rasul baik berupa fatwanya atau ketetapannya dalam permasalahan yang berkaitan dengan syari’at yang tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan belum ada ijma’ dalam permasalahan tersebut.

Dari beberapa defini qaul shahabi di atas dapat disimpulkan bahwa qaul shahabi adalah hal-hal yang sampai kepada kita dari sahabat baik itu berupa fatwa atau ketetapannya, perkataan dan perbuatannya dalam sebuah permasalahan yang menjadi objek ijtihad yang belum ada nash yang sharih baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah yang menjelaskan hukum permasalahan tersebut.

Macam-Macam Qaul Shahabi:

Ø Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad.

Ø Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain.

Ø Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya.

Ø Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.

SADDU DZARI’AH

1. Secara Etimologis

Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lubang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah dalam beberapa kitab usul fikih seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.

Pada awalnya kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah menurut Ibn al-A’rabi kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.

2. Secara Terminologi

Menurut al-Qarafi sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah) namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah) maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada menurut asy-Syaukani adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:

1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.

2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.

3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah) dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.

4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.

2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.

3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.

SYAR’UN MAN QABLANA

Yang dimaksud dengan syar'un man qablana ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.

Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:

Artinya:

"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syûra: 13)

Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat al-Mâidah: 32) dan sebagainya.

Macam-macam syar'un man qablana

Sesuai dengan ayat di atas kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya yaitu:

a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.

b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.

c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.

Mengenai bentuk ketiga yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh atau tidak berlaku lagi hukumnya.

Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.

AL-URF

Urf secara etimologi berasal dari kata arafa-yu’rifu sering di artikan al ma’ruf berarti sesuatu yang dikenal atau sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya yaitu:

1.‘Urf ‘am (umum).

Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.

2.‘Urf khosh (khusus)

Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.

Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung berdua antara penjual dengan pembeli maka inilah yang berlaku tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.

Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya yaitu:

1.‘Urf Lafzhy (ucapan)

Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.

Misalnya:

Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah bukan dolar ataupun riyal.

2.‘Urf Amali (perbuatan)

Yaitu sebuah perbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyarakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.

Misalnya:

Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.

Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya yaitu:

1.‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.

Misalnya: Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah dipandang baik telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.

2.‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.

Misalnya: Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

MASLAHAH MURSALAH

Maslahah mursalah terdiri atas dua kata yaitu maslahah dan mursalah. Perpaduan dua kata menjadi “marsalah mursalah“ yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:

1. Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai berikut: Maslahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri` (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya).

2. Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.

3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi maslahah ialah: Memelihara tujuan syara dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.

Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusak manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

Maslahah itu harus hakikat bukan dugaan” Ahlul hilli wal aqdi” dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah haqiqiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.

Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam bahkan tidak dapat disebut maslahah.

Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah.

Macam-Macam Maslahah

Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu:

1. Maslahah dharuriyah

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia yang bila ditinggalkan maka rusaklah kehidupan manusia merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah dan kehancuran yang hebat.

Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah dan karena kita adalah mahasiswa maka kewajiban kita adalah berjihad dengan belajar oleh sebab itu belajarlah dengan sungguh-sungguh.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankanhidupnya. Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.

2.Maslahah Hajjiah

Maslahah hajjiyah ialah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam tetapi hanya menimbulkan kepicikan, kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan bidang jinayat. Dalam hal ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir. Dalam adat dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yang baik-baik dan yang indah-indah. Dalam hal muamalat dibolehkan jual-beli secara islam dibolehkan talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri. Dalam hal uqubat/ jinayat, menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.

Termasuk dalam hal hajjiyah ini memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/ mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.

3.Maslahah tahsiniyah

Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak.

Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.

Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/ bernajis. Dalam lapangan muamalah misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah yaitu melarang wanita-wanita muslimah keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang tak senonok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama. Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita-wanita yang baik dan menjadi kebanggaan.

Kehujjahan Maslahah Mursalah

Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :

Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/ dalil menurut ulama-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir .

Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/ dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan Syafi`iyyah mensyaratkan tentang masalah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukum itu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan.

Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah “ Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat“.

Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alas an: Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/ agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar