Halaman

Jumat, 25 Mei 2012

Dunia Perbankan

BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Industri perbankan di Indonesia sangat penting peranannya dalam pembangunan ekonomi. Tidak hanya di Indonesia, di banyak negara pun industri perbankan sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi,terutama dalam membiayai aktivitas yang berhubungan dengan uang.


Selain itu perbankan dibutuhkan karena mempunyai peranan yang amat mendukung meningkatnya pembangunan ekonomi. Peranan tersebut antara lain:

1. Pengalihan aset (aset transmutation) Perbankan berfungsi dalam memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari para pemilik dana yang disimpan di bank yaitu unit surplus yang mempercayakan dananya untuk dikelola bank. Dalam hal ini perbankan telah berperan sebagai pengalih aset dari unit surplus (lenders) kepada unit defisit (borrowers).

2. Transaksi (transaction)

Perbankan memberikan kemudahan bagi para pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa. Produk-produk barang dan jasa yang dikeluarkan oleh bank merupakan pengganti uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang sah.

3. Likuiditas (liquidity)

Peran ini menunjukan bahwa lembaga keuangan bank dapat meyakinkan nasabah bahwa dana yang disimpan sebagai produk-produk dengan tingkat likuiditas yang berbeda-beda akan dikembalikan pada saat yang telah ditentukan, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

4. Efisiensi (Efficiency)

Perbankan dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanannya, bank dapat mempertemukan pemilik dan pengguna modal serta memperlancar pihak-pihak yang saling membutuhkan.

Dunia perbankan Indonesia sejak tahun 1967 keberadaannya diatur oleh undang-undang Nomor 14/1967 yang kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 7/1992 tentang perbankan. Penggantian dasar hukum mengenai keberadaan sistem perbankan itu dilakukan karena Undang-undang yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan moneter.

Berdasarkan Undang-undang nomor 14/1967 pasal 1 disebutkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalulintas pembayaran uang. Selanjutnya dalam pasal 3 Undang-undang tersebut, perbankan dibedakan menjadi empat berdasarkan fungsinya yaitu Bank Sentral, Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank pembangunan.

Sedangkan menurut Undang-undang nomor 7/1992 pasal 1, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan dalam rangka taraf hidup rakyat.

BAB II

PEMBAHASAN

REGULASI INDUSTRI PERBANKAN

Regulasi industri perbankan di Indonesia dinilai masih belum lengkap. Tak jarang, regulasi yang mengatur perbankan ini masih belum ada dan terpaksa mengacu pada perbankan konvensional. Menyebutkan kekosongan regulasi syariah, misalnya terjadi pada setifikasi banker bank. Selama ini proses sertifikasi para banker yang akn bergelut di perbankan masih menggunakan aturan konvensional. Padahal antara konvensional itu kan jelas beda, tapi aturan untuk bankir ini belum ada. Sebagai salah satu pemain dalam industri perbankan BMI akan mendukung dan mendorong Bank Indonesia serta pemangku kewenangan lainnyauntuk membuat regulasi bank yang purna. Dari hulu ke hilir, regulasi perbankan harus purna.

Perbankan syariah di Indonesia sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya system perbankan yang sesuai syariah, pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut undang-undang yang baru.

Industri perbankan Indonesia sangat tidak efisien. Satu ukuran dasar untuk mengukur efisiensi bank dan benchmarking metric adalah CIR (Cost to Income Ratio). CIR membandingkan struktur biaya dengan pendapatan sebuah bank. Data dari The AsianBanker menunjukkan bahwa CIR industri perbankan Indonesia yang paling tinggi diantara region Asia Tenggara, 88.6 persen dibandingkan 40 persen Malaysia, 42 persen Singapura,54.3 persen Thailand.

Namun ironisnya di tengah-tengah permasalahan inefisiensi, bank-bank nasional Indonesia mencetak laba yang tinggi di antara industri lainnya. Survei dari Global Financial Stability Report (IMF) menunjukkan bahwa Return of Asset (ROA) seberapa menguntungkan sebuah perusahaan dibandingkan dengan total aset yang dimilikinya dari bank-bank nasional Indonesia tertinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara sejak tahun 2009. CIR dan ROA yang tinggi dari industri perbankan menunjukkan bahwa kredit di Indonesia sangatlah mahal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dan mengapa hal tersebut menjadi permasalahannya? Bukankah seharusnya suku bunga yang mahal akan mengurangi permintaan peminjaman? Adanya informasi asimetrislah penyebabnya. Sebuah bank cenderung menyimpan informasi transparan dari produk pinjaman, apakah hal tersebut merupakan informasi suku bunga efektif yang sebenarnya (biaya pinjaman yang sebenarnya bagi customer), struktur kredit, dan syarat dan ketentuan atas kredit tersebut. Semua jenis iklan—online, media cetak, brosur dan lainnya—hanyalah strategi bank untuk mengirimkan pesan yang salah tentang produk yang diiklankan tersebut. Hal ini disebut juga diferensiasi produk dengan advertising.

Kita dapat menemukan buktinya dari pola nasabah kredit ritel dan mikro. Kebanyakan adalah petani tradisional, pedagang, atau pengusaha kecil dan menengah yang hanya membutuhkan pinjaman 20 juta hingga 10 miliar rupiah, dan mereka tersebar di seluruh negeri. membuat bank-bank nasional sangat senang menyediakan pinjaman untuk segmen ini adalah imbal hasil sebesar 20 hingga 30 persen per tahun yang bisa didapatkannya dari bunga pinjaman—beberapa bahkan meraih untung lebih dari 40 persen tanpa diketahui oleh sebagian besar nasabah tersebut. Bagaimana seorang petani tradisional atau pengusaha kursi rotan dapat membedakan antara fixed dan floating rate,atau suku bunga flat dan efektif?

Perbaikan fundamental lebih diperlukan seperti, meningkatkan ICT literacy penduduk Indonesia, mengeluarkan regulasi yang mewajibkan bank nasional untuk melakukan edukasi tentang produk-produk perbankan terhadap nasabah dan calon nasabah terlebih dahulu sebelum adanya transaksi, dan melakukan review terhadap regulasi atas perlindungan konsumen.

DEREGULASI INDUSTRI PERBANKAN NASIONAL

Pada perkembangannya sektor perbankan memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Terlebih lagi pada saat kejayaan dari sektor minyak mulai menurun, sehingga penerimaan dari sektor migas tidak lagi dapat diandalkan karena harga minyak terus merosot. Merosotnya harga minyak menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan dalam membiayai pembangunan. Maka untuk mengatasi kesulitan tersebut pemerintah melakukan mobilitasi dana masyarakat melalui lembaga keuangan yang ada.

Untuk dapat mengefektifkan mobilisasi dana masyarakat tersebut, maka dilakukan deregulasi sektor perbankan. Hal ini sesuai dengan salah satu alasan diadakan deregulasi yaitu alasan pragmatis kesulitan anggaran, yang ditandai dengan defisit anggaran negara yang semakin besar, menuntut pengurangan keuangan negara dan meningkatkan efisiensi serta produktivitasnya[1][2]. Deregulasi sering dikaitkan dengan pengurangan peran pemerintah dalam perekonomian. Karena pada dasarnya esensi dari deregulasi adalah pengurangan distorsi dalam perekonomian yang mengakibatkan tidak berjalannya mekanisme pasar secara sewajarnya.

Pada umumnya penyebab distorsi ini adalah adanya peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu, yang berusaha mempengaruhi jalannya perekonomian untuk melindungi kepentingan pemerintah itu sendiri. Menurut sejarahnya, proses deregulasi dilaksanakan karena bertujuan untuk mencegah kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh perbankan. Kesalahan perbankan berarti sebuah kerugian yang harus ditanggung tidak hanya oleh para pemilik bank tetapi juga para penabung.

Dikeluarkannya deregulasi disektor perbankan sesuai dengan apa yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Ketentuan tersebut yaitu bahwa lembaga keuangan perbankan yang fungsi utamanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat mempunyai tugas membantu pelaksanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ekonomi kearah peningkatan kesejahtraan rakyat banyak. Guna mencapai tujuan tersebut maka lembaga perbakan diarahkan untuk secepatnya dapat memperluas jangkauan pelayanan diseluruh pelosok tanah air, dan secara terus menerus meningkatkan efisiensi, efektivitas dan mutu pelayanan kepada masyarakat.

Apabila ditelisik secara historis kebijakan deregulasi perbankan di indonesia, maka secara sistematis dapat dikemukakan beberapa rentetan undang – undang tentang kebijakan deregulasi. Rentetan dari kebijakan deregulasi perbankan tersebut meliputi;

1. paket kebijakan 1 juni 1983

Deregulasi di Indonesia dimulai pada tahun 1983 yaitu pada saat dikeluarkanya paket 1 Juni 1983 (Pakjun 1983), paket deregulasi pada intinya berisi hilangnya sistem pagu kredit dan diberikan kebebasan kepada bank-bank pemerintah dalam kebijakan pengelolaan, terutama dalam penentuan tingkat suku bunga. Tujuan utama paket kebijakan ini yaitu untuk mendorong bank-bank agar dapat menghimpun dana masyarakat dan kemudian menyalurkan secara lebih efisien. Sebelum deregulasi 1 Juni 1983 Bank Indonesia menetapkan pagu kredit, menetukan selektivitas arah kredit dan menetapkan serta mensubsidi tingkat suku bunga kredit. Campur tangan seperti itu terutama berlaku bagi bank-bank negara[2][3].

Isi Kebijakan :

Penghapusan pagu kredit

Pembebasan suku bunga simpanan

Meniadakan pagu atas swap Bank Sentral

Dampak dari paket deregulasi ini adalah terciptanya iklim persaingan antar bank dalam industri perbankan Indonesia. Iklim persaingan ini mendorong naiknya tingkat suku bunga. Naiknya tingkat suku bunga sebagai instrumen utama dalam menarik dan menghimpun dana dari masyarakat. Hal yang demikian ini tidak dapat disalahkan karena masyarakat sendiri lebih suka menabung pada bank yang memberikan bunga tinggi. Pada saat itu dominasi bank-bank pemerintah dalam menentukan tingkat suku bunga masih sangat dominan.

danya kenaikan tingkat suku bunga pada bank-bank pemerintah akan segera diikuti oleh bank-bank lainnya baik itu bank swasta maupun bank campuran. Demikian pula jika terjadi penurunan tingkat suku bunga pada bank-bank pemerintah, penurunan ini akan diikuti oleh bank-bank lainnya. Adanya dominasi peranan bank-bank pemerintah dalam kegiatan perbankan dapat dikatakan bahwa keadaan industri perbankan Indonesia sampai tahun 1990-an masih bersifat oligopoli.

Hal ini terjadi karena pangsa pasar, baik dalam penghimpunan dana masyarakat maupun penyalurann kredit kepada para peminjam dikuasai oleh bank pemerintah.

Dilihat dari aset perbankan pada tahun 1980 sebelum pakto total aset perbanakn masih dikuasai oleh bank-bank pemerintah besarnya yaitu sekitar 73% dari total aset sektor perbankan[3][4].

Semakin besar peranan yang dituntut dari sektor keuangan membuat sistem alokasi dan distribusi yang tidak ditentukan oleh mekanisme pasar tidak dapat dipertahankan lagi karena akan menimbulkan distorsi dalam perekonomian. Maka untuk itulah perlu adanya deregulais dalam sektor keuangan[4][5].

2. paket kebijakan 27 oktober (pakto) 1988

kehadiran paket oktober 1988 ini tidak dapat dipisahkan dari kebijakan sebelumnya, yaitu pakjun 1983,.pakjun gagal memainkan peran untuk memayungi kepentingan semua pihak. Paket ini hanya dapat menghimpun dana untuk investasi swasta. Dengan sendirinya pihak swasta diharapkan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja serta menciptakan iklim yang memungkinkan bank – bank beroperasi lebih efisien dan perluasan jaringan kantor bank.

Paket kebijakan 27 oktober 1988 (PAKTO) memberikan kesempatan bagi berkembangnya lembaga – lembaga keuangan, baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non-bank (LKBB). Pakto ini berisi kebijakan meliputi:

memberikan kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank, dan lembaga keuangan bukan bank (LKKNB) dan kantor cabangnya.

Memperkenankan pendirian bank-bank swasta baru antara lain dengan penetapan syarat modal disetor minimal 10 milyar, juga kesempatan untuk mendirikan bank perkreditan rakyat (BPR) dengan modal minimum 50 juta.

Mendorong perbankan untuk menyelenggarakan berbagai bentuk tabungan menarik.

memperingan persyaratan bagi bank menjadi bank devisa.

memperkenankan pendirian bank campuran

memperkenankan pembukaan kantor cabang pembantu bank asing

penyempurnaan mekanisme swap, berupa perpanjangan jangka waktu swap dari maksimum 6 bulan menjadi 3 tahun.

penyempurnaan izin perdagangan valuta asing berupa pemberian izin tanpa batas waktu.

pemberian kemudahan pada semua bank dalam menyelengarakan tabanas, taska dan tabungan lainnya.

menetapkan batas maksimum pemberian kredit kepada semua bank.

menurunkan liquiditas wajib minimum bank-bank dari 15% menjadi 2% dan lembaga keuangan bukan bank (LKKNB).

(bank indonesia, 2003; dalam raharjo, 1995, 231-2).

Tujuan lebih jauh dari paket kebijaksanaan oktober 1988 adalah memperlancar usaha pengerahan dana masyarakat serta memperluas daya jangkau pelayanan perbankan ke daerah-daerah guna membiayai kegiatan pembangunan dan mendorong kegiatan ekspor non-migas. Kebijaksanaan ini mendorong lembaga-lembaga keuangan perbankan meningkatkan efisiensi, memberikan iklim pengembangan pasar modal dan meningkatkan kemampuan pengendalian moneter.

Dampak dari dikeluarkannya deregulasi Pakto 1988 ini dalah munculnya bank-bank baru yang disertai dengan bertambahnya kantor cabang baru. Kondisi ini membuat persaingan antar bank menjadi bertambah sengit terutama dalam menarik nasabah, baik berupa pengumpulan dana maupun penyaluran kredit.

3. paket kebijakan 29 januari 1990

paket kebijakan 29 januari 1990 (PAKJAN 1990) berupaya menyempurnakan sistem perkreditan, dengan mengurangi secara bertahap ketergantungan bank kepada kredit liquiditas bank indonesia (KLBI) (Rahardjo, 1995, 233).

Kredit liquiditas bank indonesia (KLBN) mengandung beberapa kelemahan, diantaranya adalah:

bukan merupakan dana yang berasal dari masyarakat, tetapi merupakan uang baru sehingga menambah jumlah uang beredar yang bersifat inflatoir.

kredit liquiditas bank indonesia terlalu besar tidak mendorong lembaga keuangan untuk memobilitasi dana dari masyarakat.

suku bunga KLBI ditetapkan rendah sehingga pemerintah kredit berlebihan, namun kadar seleksi pemberian kredit berkurang yang berakibat pada tunggakan kredit dan adanya penyimpangan tujuan kredit (didepositokan).

nasabah maupun bank banyak yang berasumsi, bahwa KBLI merupakan program kredit sosial sehingga kewajiban moral untuk mengembalikan menjadi rendah.

banyaknya tunggakan yang disebabkan oleh KLBI, maka biaya bank menjadi naik yang mengakibatkan suku bunga menjadi besar (latumaerissa, 1999,5)

Dengan adanya sejumlah kelemahan yang melekat dalam kebijakan tersebut, maka diperlukanpenyempurnaan yang ditujukan untuk:

memantapkan perbankan dan lembaga keuangan sebagai pengelola dan pelaksana sistem perkreditan nasional dengan cara bank memobilisasi dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara tepat, sedangkan bank indonesia diduduki sebagai lender of the last resort, bukan sebaliknya sebagai lender of the first resort sebagaimana yang selama ini terjadi dalam mekanisme KLBI.

menempatkan posisi bank indonesia pada posisi yang seharusnya sebagai monetary stability dan banker of banks.

penyehatan sistem perbankan nasional

penyempurnaan program kredit bagi usaha kecil

4. paket kebijakan pebruari 1991

kebijakan ini secara garis besar meliputi dua aspek penting yaitu:

a. penyempurnaan persyaratan perjinan, kepemilikan dan kepengurusan bank, yang meliputi beberapa beberapa aspek berikut ini; pemilik dan pengelola bank harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan fungsinya untuk melindungi kepentingan masyarakat sehingga kesehatan sebuah bank harus diupayakan secara kontinyu sejak berdiri; pembukaan kantor cabang atau perwakilan dan penyertaan bank di luar negri; pendirian kantor bank; persyaratan pembukaan kantor BPR dan merger.

b. Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian (prudential prinnciple) yang meliputi; permodalan bank; jaminan pemberian kredit; kredit untuk pembelian saham dan pemilikan saham oleh bank; batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau legal lending limit; (latumaerissa, 1999 : 6).

5. paket 29 mei 1993: penilaian tingkat kesehatan bank

dalam rangka menjaga agar bank-bank tersebut lebih melaksanakan fungsi prudential banking(prinsip kehati-hatian dalam menjalankan bisnis perbankan), bank indonesia selaku pengawas dan pembina bank nasional telah menetapkan ketentuan tentang penilaian tingkat kesehatan bank dengan surat edaran BI No 26 /BPPP /1993, tangal 29 mei 1993, yang dikenal dengan nama metode CAMEL (capital adequacy, quality of productive asset, management risks, earning, liquidity). Tata cara penilaian tingkat kesehatan bank tersebut kemudian disempurnakan lagi melalui surat keputusan direksi bank indonesia No. 30 /11 /KEP/DIR/1997, tanggal 30 april 1997.

ARBRITASE DALAM BANK SYARIAH

Pengertian Arbitrase

arbritrase adalah kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan (R. Subekti), atau satu cara penyelesaian sengketa yang jauh dianggap lebih baik dari pada penyelesaian melalui saluran-saluran biasa.

Tujuan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional adalah untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam sektor ekonomi syari’ah belum sepenuhnya terlaksana dikarenakan kekurangan SDM serta finansial.

Lingkup kewenangannya ialah dalam bidang arbitrase dan masih terbatas dalam lingkup perbankan syariah secara umum, dan akan dikembangkan dalam bidang jasa dan industri sehingga mempunyai kontribusi yang besar untuk masyarakat.

Mekanisme operasionalnya belum terorganisir seperti kepengurusan cabang sama dengan kepengurusan pusat.

Pengertian Non Performing Loan (NPL)

Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah merupakan salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank. Salah satu fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana.

Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rumus perhitungan NPL adalah sebagai berikut:

Rasio NPL = (Total NPL / Total Kredit )x 100%

Misalnya suatu bank mengalami kredit bermasalah sebesar 50 dengan total kredit sebesar 1000, sehingga rasio NPL bank tersebut adalah 5% (50 / 1000 = 0.05).

Beberapa Hal Yang Mempengaruhi NPL Suatu Perbankan :

Menurut pendapat penulis terdapat beberapa hal yang mempengaruhi atau dapat menyebabkan naik turunnya NPL suatu bank, diantaranya dalah sebagai berikut :

a. Kemauan atau itikad baik debitur :

Kemampuan debitur dari sisi financial untuk melunasi pokok dan bunga pinjaman tidak akan ada artinya tanpa kemauan dan itikad baik dari debitur itu sendiri.

b. Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia :

Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tinggi rendahnya NPL suatu perbankan, misalnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM akan menyebabkan perusahaan yang banyak menggunakan BBM dalam kegiatan produksinya akan membutuhkan dana tambahan yang diambil dari laba yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan utang untuk memenuhi biaya produksi yang tinggi, sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam membayar utang-utangnya kepada bank. Demikian juga halnya dengan PBI, peraturan-peraturan Bank Indonesia mempunyai pengaruh lansung maupun tidak lansung terhadap NPL suatu bank. Misalnya BI menaikan BI Rate yang akan menyebabkan suku bunga kredit ikut naik, dengan sendirinya kemampuan debitur dalam melunasi pokok dan bunga pinjaman akan berkurang.

c. Kondisi perekonomian :

Kondisi perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya. Indikator-indikator ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPL diantaranya adalah sebagai berikut:

Inflasi :

Inflasi adalah kenaikan harga secara menyeluruh dan terus menerus. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan kemampuan debitur untuk melunasi utang-utangnya berkurang.

Kurs rupiah :

Kurs rupiah mempunayai pengaruh juga terhadap NPL suatu bank karena aktivitas debitur perbankan tidak hanya bersifat nasioanal tetapi juga internasional.

UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil setelah sebelumnya tidak diatur sama sekali oleh UU Perbankan Nasional yang berlaku, yaitu UU No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan.

Periode Undang-undang No. 7 Tahun 1992

1) Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya;

2) Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih terarah;

3) Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;

4) Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;

5) Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

Instrumen hukum yang ada ternyata belum cukup mampu mendongkrak pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia, sebagai contoh selama periode 1992 sampai dengan 1998 terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992, bank syariah dipahami hanya sebagai bank bagi hasil saja, sehingga bank syariah harus tunduk pada peraturan bank konvensional.

Oleh karena itu manajemen bank syariah hanya mengadopsi produk-produk bank konvensional yang disyariahkan dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua kebutuhan masyarakat dapat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif dibandingkan dengan produk-produk perbankan konvensional

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut lahirlah UU No. 10 tahun 1998 yang merubah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sehingga menjadi lebih jelaslah dasar hukum kelembagaan perbankan syariah maupun landasan operasionalnya. Dengan demikian, pengembangan bank syariah merupakan amanah UU No. 10 tahun 1998 yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia karena UU tersebut mengakui keberadaan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan ataudikenal sebagai dual banking system.

Periode Undang-undang No. 10 Tahun 1998

Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah sebagai berikut :

1) Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan;

2) Perlunya konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus;

3) Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank;

4) Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

5) Ketentuan mengenai kemungkinan pemilikan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank umum;

6) Peranan Badan Pengawas Keuangan;

7) Pendefinisian lembaga penjamin simpanan;

8) Penegasan sifat sementara bagi badan khusus;

9) Pencantuman persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

10) Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman

Pada tahun 1999 dikeluarkan pula UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenanangan kepada bank syariah untuk dapat menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah.

Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat perundang-undangan tersebut diberlakukan. Sejak diterbitkannya UU No. 10 tahun 1998, dari sisi asset, system perbankan syariah juga mengalami pertumbuhan yang cukup pesat yaitu sebesar 74% pertahun selama kurun waktu 1998 sampai 2001 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.718 milyar pada tahun 2001).

Pada tahun 2003 dan 2004 mengalami pertumbuhan masing-masing 94% dan 95. Sedangkan pada 2005 dan 2006 kenaikan tersebut lebih kecil yaitu masing-masing 36% dan 28%, hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan permodalan setelah mengalami pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2003 dan 2004. Sampai dengan Juni 2006, total asset perbankan syariah nasional mencapai Rp. 22,70 triliun, meningkat dibanding akhir tahun 2005 yang tercatat sebesar Rp. 20,55 triliun.

Sistem perbankan syariah telah pula mengalami pertumbuhan dalam hal kelembagaan. Jumlah bank umum syariah telah meningkat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, Unit Usaha Syariah (UUS) dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah kantor cabang dari bank umum syariah dan UUS dari 26 telah meningkat menjadi 51 kantor. Sampai dengan akhir 2004 terjadi penambahan satu bank umum syariah yakni berasal dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah, total menjadi 3 bank umum syariah, jumlah kantor bank menjadi 355 kantor dan jumlah BPRS menjadi 88 BPRS. Pada akhir 2005 jumlah kantor perbankan syariah tercatat sebanyak 443 unit, meningkat menjadi 550 unit dan meningkat lagi menjadi 574 pada bulan Juni 2006

KEBIJAKAN BANK INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.

Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.

Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.

“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.

Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah

Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.

Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.

Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.

ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.

Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.

Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah.

Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pengaturan perbankan di Indonesia memiliki beberapa fungsi utama :

1. Untuk tujuan moneter, pengaturan perbankan diarahkan untuk tujuan moneter, ditujukan untuk mendorong stabilitas moneter di Indonesia. Hal ini mengingat masih dominannya perbankan sebagai sumber pembiayaan investasi.

2. Untuk tujuan pengawasan terhadap industri perbankan. Pengaturan perbankan untuk tujuan pengawasan adalah dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan system keuangan secara keseluruhan, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas pasar uang serta mendorong system perbankan yang efisien dan kompetitif.

3. Untuk tujuan pembangunan. Pengaturan perbankan untuk tujuan pencapaian program pembangunan diarahkan agar perbankan nasional dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi pada masa pembangunan.

Selanjutnya dapat diuraikan perkembangan perbankan di Indonesia berdasarkan periodisasi berlakunya peraturan perundang-undangan perbankan:

a. Periode Undang-undang No. 14 Tahun 1967

Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur secara komprehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu.

b. Periode Deregulasi 1 Juni 1983

Dikatakan proses awal liberalisasi perbankan. Tujuan : Mengurangi ketergantungan bank-bank pada Bank Indonesia Meningkatkan mobilisasi dana masyarakat

Isi Kebijakan :

1) Penghapusan pagu kredit

2) Pembebasan suku bunga simpanan

3) Meniadakan pagu atas swap Bank Sentral

c. Periode Pakto 1988

Tujuan : Perubahan Struktural Kelembagaan Perbankan untuk menunjang pengerahan dana masyarakat dan ekspansi pemberian kredit.

Isi kebijakan:

1) Keleluasaan Pendirian Bank

2) Diperbolehkan BUMN menyimpan deposito di Bank Swasta

3) Penetapan CAR ( Capital Adequacy Ratio ), Legal Lending Limit

4) Setelah dikeluarkannya PAKTO, kemudian dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991. Kemudian, disusul oleh BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga BPRS tersebut beroperasi di Bandung, dan kemudian berdiri BPRS Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh.7

d. Periode Undang-undang No. 7 Tahun 1992

ü Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya;

ü Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan lebih terarah;

ü Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;

ü Peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;

ü Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan bertanggungjawab sekaligus mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.

e. Periode Undang-undang No. 10 Tahun 1998

Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah sebagai berikut :

ü Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi kewenangan Menteri Keuangan;

ü Perlunya konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus;

ü Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank;

ü Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

ü Ketentuan mengenai kemungkinan pemilikan bank asing sebagai mitra strategis dan pemegang saham bank umum;

ü Peranan Badan Pengawas Keuangan;

ü Pendefinisian lembaga penjamin simpanan;

ü Penegasan sifat sementara bagi badan khusus;

ü Pencantuman persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah;

ü Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Iswardono. 1991. Uang dan Bank. Yogyakarta: BPFE.

Muhammad. 2005 Bank Syariah. Yogyakarta: graha ilmu.

Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.

Eugene, Diulio A, Uang dan Bank. 1993. penerbit Airlangga.

Syafi’ie, Antonio, Bank Syariah; dari teori ke praktek, gema insani press.

Warkum, Sumitro. 1997. Azas-azas Perbankan Ialam dan Lembaga-lembaga di Indonesia. Jakarta: raja Grafindo Persada.

Widjanarto. 1997. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Wirdiyaningsih dkk. 2005. Bank dan asuransi islam di indonesia. Jakarta: fajar interpratama offset.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar