Halaman

Jumat, 25 Mei 2012

Makalah Wadi'ah

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah dikeluarkannya fatwa bahwa bunga bank itu haram oleh MUI, kaum musliminyang terbiasa bertransaksi dan menyimpan dananya di bank konvensional menjadi resah dan mencari solusi yang aman.Kemanakah orang muslim seharusnya menabung?Bank syariah, yang sebenarnya telah lahir sejak tahun 1992, menjadi solusi yang dinilai tepat dalam menyelesaikan masalah ini.Bank syariah berkembang dengan lambat di awal pertumbuhannya.
Pada tahun 1998, disaat ekonomi Indonesia mengalami krisis yang dahsyat,Bank Syariah menunjukkan eksistensinya. Bank Muamalat yang pada saat itu masih menjadi bank syariah satu-satunya di Indonesia, tetap berdiri tanpa guncangan yang berarti.Kemampuan bank Muamalat dalam bertahan memberi inspirasi bagi para pelaku ekonomi muslim.Tahun 1999 bank syariah kedua di Indonesia lahir, yaitu Bank Syariah Mandiri, selanjutnya bank-bank syariah lainnya bermunculan baik dalam bentuk bank umum ataupunUUS.Keunggulan bank syariah dibanding bank konvensional adalah sistem bagi hasilnya yang halal karena tidak mengandung unsur riba. Selain itu bank syariah juga menawarkan produk- produk yang tidak kalah dengan produk-produk yang ada di bank konvensional yang tentunya dikemas dengan prinsip syariah.Bank syariah mempunyai produk pendanaan yang beragam. Tidak hanya dengan prinsip mudharabah (bagi hasil), bank syariah juga menawarkan produk pendanaan dengan prinsipwadiah (titipan).Dengan menggunakan dua prinsip wadiah bank syariah mampu menciptakan produk- produk yang menarik minat masyarakat.Terutama masyarakat yang tidak mau mengeluarkan biaya untuk potongan administrasi atau biaya-biaya lainnya.

Prinsip wadiah juga menguntungkan bank karena bonus yang diberikan kepada nasabah tidak ditentukan di awal, melainkan sesuai dengan kebijakan bank.Jika dalam keadaan kepepet pun bank tidak diwajibkan untuk member bonus. Karena bonus hukumnya boleh bukan wajib.Permasalahannya saat ini adalah tidak semua bank syariah menerapkan prinsip wadiah dengan semestinya, sehingga tetap melimpahkan biaya administrasi pada nasabah, padahal bonus yang diberikan sesuai dengan kebijakan bank.Dalam makalah ini kami mendeskripsikan tentang definisi wadiah,dasar hukum wadiah, syarat dan rukun wadiah,produk-produk yangmenggunakanakadwadiah,serta pengaplikasianya pada beberapa bank syariah diIndonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi wadiah?

2. Apa saja dasar hukum wadiah?

3. Apa syarat dan rukun wadiah

4. Bagaimana aplikasi wadiah di Lembaga Keuangan Syariah?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui apakah definisi dari wadiah itu.

2. Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum wadiah.

3. Dapat mengetahui syarat dan rukun wadiah.

4. Mengetahui aplikasi wadiah dalam Lembaga keuangan Syariah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

seseorang. Akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang tersebut.

Secara bahasaAda 2 makna :

1. Ma wudi’a ‘inda ghair malikihi layahfadzahu : Sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya, berarti bahwa al-wadi’ah ialah memberikan.

2. Qabiltu minhu dzalika al-mal liyakuna wadi’ah ‘indi : seperti seseorang berkata “auda’tuhu” artinya aku menerima harta tersebut darinya.

Maka secara bahasa al-wadi’ah memiliki 2 makna yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya.

Dan Secara istilah (fiqih) adalah :

a. Menurut Syafi’iyah : Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.

b. Menurut Hanabilah : Titipan, perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabarru).

Maka secara istilah al’wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana mestinya maka penerima titipan tidak wajib menggantinya tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka ia wajib menggantinya.

B. DASAR HUKUM

Para ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah salah satu akad dalam rangka tolong-menolong antara sesama manusia. Dasar-dasar hukum wadia’ah yaitu :

1. Al-Qur’an

Al-Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik memintanya kembali.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (Qs. An-Nisa 4:58)

Allah Swt berfirman, “…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…” (Qs. Al Baqarah 2:283)

2. As-Sunnah

Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi menurut hadist ini hasan sedangkan Imam Hakim mengkategorikannya shahih).

3. Ijma

Ibnu Qudamah rh menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya.

Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma (konsensus) akan legitimasi al-Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadapnya hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wehbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir Li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth Imam Sarakshsy.

C. RUKUN-RUKUN WADI’AH

Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun wadi’ah ada 3 :

1. Orang yang berakad, yaitu terdiri dari :

1) Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)

2) Pihak yang menyimpan/dititipi (Mustauda’)

2. Barang/uang yang disimpan (Wadi’ah)

3. Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)

D. SYARAT-SYARAT WADI’AH

1. Orang yang berakad harus :

Ø Baligh

Ø Berakal

Ø Cerdas (‘alim)

2. Barang titipan

Ø Jelas (dapat diketahui jenis atau identitasnya)

Ø Dapat dipegang

Ø Dapat dikuasai untuk dipelihara

E. SIFAT AKAD WADI’AH

Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak.Akan tetapi apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanat atau dhamaan (ganti rugi)?

Para ulama sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab mustawda’ (pihak yang dititipi).Amanat berubah menjadi dhamaan kalau kerusakan itu terjadi karena kesengajaan.

Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya.

Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin”.(HR Daruquthni)

Rasulullah Saw bersabda, “TIdak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat”. (HR Baihaqi).

Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas mustawda’ (pihak yang dititipi) maka akad itu tidak sah.Kemudian mustawda’ harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari muwaddi’ (pemilik barang/penitip).

F. HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN

Hukum menerima benda-benda titipan ada 4 macam yaitu :

a. Sunat

Disunnatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya. Al-Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, tolong menolong secara umum hukumnya sunnat.Hal ini dianggap sunnat menerima benda titipan ketika ada orang lain yang pantas pula untuk menerima titipan.

b. Wajib

Diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.

c. Haram

Apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan. Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan sebab dengan menerima benda titipan berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.

d. Makruh

Bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-benda titipan tetapi ia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan sebab dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-benda titipan atau menghilangkannya.

G. JENIS-JENIS WADI`AH

Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :

1. WADI`AH YAD AL AMANAH

Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.

Hadis Rasulullah :

“ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :

· Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.

· Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.

· Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru)

Ketentuan pokok pada operasional wadi’ah yad al-amanah :

i. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.

ii. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.

iii. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan.

2. WADI`AH TAD ADH-DHAMANAH

Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.

Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:

“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)

Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).

Ketentuan pokok dalam operasional wadi’ah yad ad-dhamanah:

i. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.

ii. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat,

H. JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN

Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :

1. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.

2. Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.

3. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)

4. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)

I. RUSAK DAN HILANGNYA BENDA TITIPAN

Jika mustauda’ (orang yang menerima titipan) mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum.

Namun Ibnu Munzir rh berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.

Menurut Ibnu Taimiyah rh, apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka mustauda’ tersebut wajib menggantinya.

Pendapat Ibnu Taimiyah rh ini berdasarkan pada atsar bahwa Umar ra pernah meminta jaminan dari Anas bin Malik ra ketika barang titipannya yang ada pada Anas bin Malik ra dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas ra masih ada.

Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan dan benda-benda titipan tersebut tidak ditemukan maka ini menjadi hutang bagi penerima titipan dan wajib dibayar oleh ahli warisnya.

Bila seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya sehingga ia tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemiliknya benda-benda tersebut dan sudah berusaha mencarinya namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas maka benda-benda tersebut dapat digunakan untuk keperluan.

J. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)

Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.

Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang. Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima),

Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)

K. APLIKASI DALAM PERBANKAN

Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam TITIPAN yang sifatnya biasa.

Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan.

Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : GeneralInvestment (investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).

Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.

Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman.Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.

Sehingga skemanya sebagai berikut:1

Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.

Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:

1. Bersifat titipan,

2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan

3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah

1. Bersifat simpanan

2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,

3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)

Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah.Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.

Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini:2

BAB III

PENUTUP

Dari hasil uraian pemakalah ini pembaca diharapakan dapat mengerti dan memahami salah satu produk jas bank syari’ah yaitu Wadi’ah dan yang paling terpenting bahwasanya kehadiran perbankan syariah adalah untuk membersihkan penyimpanan maupun penginvestasian dana masyarakat sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan kelak diyaumil akhir dan terlepas dari azab siksa kubur dan api neraka naujubillahi minzalik.

Memang kita sadari dalam prakteknya sehari-hari ditengah-tengah masyarakat kita yang selama ini terbiasa dengan yang namanya royalti sehingga dalam penyimpanan dan penginvestasian selalu memandang besar kecilnya suku bunga suatu Bank tanpa memperhatikan kemaslahatannya terhadap diri dan keluarganya.Namun bagi kita yang mempunyai jiwa mujahid dan mujahidah tidak perlu berkecil hati terus berusaha dan berusaha membertikan penerangan dan pengertian bagi saudara-saudara kita yang belum mengerti dan paham setidak-tidaknya kita telah memulainya dari diri kita masing-masing.Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.

Firdaus, NH, Muhammad, dkk., Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, Jakrta: Renaisan, 2005.

____________, Cara Mudah Memahami Akad-akad Syari’ah, Jakarta: Renaisan, 2005

Rivai, Veithzal, dkk.,Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia Syistem, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007

Shalahuddin Lc, dkk., Produk-produk Jasa Bank Islam Teori dan Praktek, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Islam, 2004

http://Rifaiekis.blogspot.com/2012/05/Kuliahku-Makalah Wadiah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar