Halaman

Senin, 23 April 2012

ASAL-USUL UANG

Allah menciptakan manusia dan menjadikannya makhluk yang membutuhkan makanan,minuman,pakaian,dan tempat tinggal.Memandang terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia itu,Allah tundukkan apa yang ada di langit dan di bumi.Firman Allah Swt:




Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rejeki untukmu,dan Dia telah menundukkanbahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya,dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai(QS Ibrahim [14]:32).
Oleh karena itu,sejak awal sejarah manusia,orang-orang bekerja keras dalam kehidupan untuk memenuhi terjaminnya barang dan jasa dan memanfaatkan nikmay-nikmat yang Allah berikan bagi mereka.Ketika tidak sanggup seseorang diri dalam memenuhi segala kebutuhan barang dan jasa,terjadilah kerjasama sesama manusia dalam rangka menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu.
Abu al-Fadl Ja’far bin Ali al-Dimasyqi berkata:
Tidaklah seseorang mampu untuk membebani diri untuk semua keahlian karena usia rata-rata yang singkat.Walau sangat mungkin seseorang untuk mempelajari sebagaian besar,ia tidak akan bisa semuanya sehingga betul-betul mengusai dari awal hingga akhirnya.Karena keahlian saling terkait satu sama lain seperti ahli bangunan membutuhkan tukang kayu,tukang kayu membutuhkan pandai besi, dan pekerja pandai besi membutuhkan hasil pekerjaan para penambang dan semua keahlian produksi ini membutuhkan kembali kepada ahli bangunan.Oleh krena itulah manusia perlu membuat kota-kota dan berkumpul di sana agar bisa saling menolong untuk memenuhi segala kebutuhan mereka.[2]
Keperluan yang banyak dan beragam menjadikan saling ketergantungan antar manusia yang semakin bertambah mendorong adanya spesialisasi dan pembagian kerja.Ini kemudian mendorong manusia untuk saling bertukar hasil-hasil produksi masing-masing.
Pada Awalnya,manusia tidak mengenal uang,tetapi melakukan pertukaran antar barang dan jasa secara barter sampai masa mereka mendapat petunjuk dari Allah untuk membuat uang.[3]
Kekurangan-kekurangan dalam sistem barter:
1.Kesusahan mencari keinginanyang sesuai antara orang-orang yang melakukan transaksi,atau kesulitan untuk mewujudkan kesepakatan mutual.
2.Perbedaan ukuran barang dan jasa,dan sebagian barang tidak bisa dibagi-bagi.
3.Kesulitan untuk mengukur standar harga seluruh barang dan jasa.
B. UANG DALAM PANDANGAN ISLAM
Dalam sejarah Islam, uang merupakan sesuatu yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia. Ini dimungkinkan karena penggunaan dan konsep uang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dinar adalah mata uang emas yang diambil dari Romawi dan dirham adalah mata uang perak waritsan peradaban Persia. Perihal dalam Al-Qur`an At Taubah ayat 34 disebutkan:
ياأيهاالذينآمنواإنكثيرامنالأحباروالرهبانليأكلونأموالالناسبالباطلويصدونعنسبيلاللهوالذينيكنزونالذهبوالفضةولاينفقونهافيسبيلاللهفبشرهمبعذابأليم
“hai orang – orang yang beriman sesungguhnya, sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani bear-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan Orang-orang yangmenyimpan emas dan perak dan tidak menafqahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Ayat tersebut menjelaskan , orang-orang yang menimbun emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang maupun dalam bentuk kekayaan biasa dan mereka tidak mau mengeluarkan zakatnya akan diancam dengan azab yang pedih. Artinya, secara tidak langsung ayat ini juga menegaskan tentang kewajiban zakat bagi logam mulia secara khusus. Lalu dalam surat Al Kahfi ayat 19:
وكذلكبعثناهمليتساءلوابينهمقالقائلمنهمكملبثتمقالوالبثنايوماأوبعضيومقالواربكمأعلمبمالبثتمفابعثواأحدكمبورقكمهذهإلىالمدينةفلينظرأيهاأزكىطعامافليأتكمبرزقمنهوليتلطفولايشعرنبكمأحدا
“Dan Demikian Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang diantara mereka : “Sudah berapa lamakah kamu berdiri (disini)?”. Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari / ½ hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (disini). Maka suruhlah salah seorang dia antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun”.
Ayat itu menceritakan qishshoh 7 pemuda yang bersembunyi di sebuah gua (Ashchabul Kahf) untuk menghindari penguasa yang zholim. Mereka lalu ditidurkan Allah selama 309 tahun. Ketika mereka terbangun dari tidur panjang itu, salah seorang dari mereka diminta oleh yang lain untuk mencari makanan sambil melihat keadaan. Utusan dari para pemuda itu membelanjakan uang peraknya (wariq) untuk membeli makanan sesudah mereka tertidur selama 309 tahun, Al-Qur`an menggunakan kata wariq yang artinya adalah uang logam dari perak / dirham.
Selain ayat di atas, Alquran juga menceritakan qishshoh Nabi Yuusuf yang dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya. Yuusuf kecil lalu ditemukan oleh para musafir yang menimba air di sumur tersebut, lalu mereka menjual Yuusuf sebagai budak dengan harga yang murah yaitubeberapa dirham saja.Dengan jelas ayat ini menggunakan kata-kata dirham yang berarti mata uang logam dari perak. Dari cerita yang diungkapkan oleh Al-qur’an ini jelaslah bahwa penggunaan dua logam mulia (bimetalisme) sebagai mata uang telahdilakukan oleh manusia sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Selain dirham,masyarakat Arab sebelum islam juga telah mengenal dinar,mata uang yang terbuat dari emas.Dinar dan dirham diperoleh bangsa arab dari hasil perdagangan yang mereka lakukan dengan bangsa-bangsa di seputar jazirah arab.Para pedangang kalau pulang dari syam,mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium)dan dari Irak mereka membawa dirham perak persia(Sassanid).Kadang-kadang mereka juga membawa dirham Himyar dari Yaman.Jadi,pada masa itu sudah banyak mata uang asing yang masuk negeri Hijaz. Mata uang itu digunakan hingga runtuhnya Khalifah Utsmaniyah di Turki pasca-perang Dunia I.
C. UANG PADA MASA KHALIFAH ISLAM
1. Uang Pada Masa Rasulullah
Bangsa arab di Hijaz pada masa jahiliah belum memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang merka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman.
Kabilah Quraish mempunyai tradisi melakukan perjalanan dagang dua kali dalam setahun; ketika musim panas ke negeri Syam (Syria,sekarang) dan pada musim dingin ke negeri Yaman. Firman Allah SWT.:
Karena kabiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan (QS Al-Quraisy [106]:1-4).
Penduduk Mekkah tidak memperjual belikan kecuali sebagian emas yang tidak ditempa dan tidak menerimanya kecuali dalam ukuran timbangan. Mereka tidak menerima dalam jumlah bilangan. Hal ini disebabkan beragamnya bentuk dirham dan ukurannya dan munculnya penipuan pada mata uang mereka seperti nilai tertera yang melebihi dari nilai yang sebenarnya.
Ketika Nabi Saw diutus sebagai nabi dan rasul oleh Allah SWT, beliau menetapkan apa yang sudah menjadi tradisi penduduk Mekkah. Dan beliau memrintahkan penduduk Madinah untuk mengikuti ukuran timbangan penduduk Mekkah ketika itu mereka berinteraksi ekonomi dengan menggunakan Dirham dalam jumlah bilangan bukan ukuran timbangan. Beliau bersabda: “Timbangan adalah timbangan penduduk Mekkah sedang takaran adalah takaran penduduk madinah.”
Sebab munculnya perintah itu adalah perbedaan ukuran dirham Persia karena terdapat tiga bentuk cetakan uang:
Ukuran 20 qirath (karat);
Ukuran 12 karat;
Ukuran 10 karat.
2. Uang Pada Masa Khulafaurrasyidin
Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar. Bahkan menetapkan apa yang sudah berjalan pada masa Rasulullah, yaitu penggunaan mata uang Dinar Haercules dan Dirham Persia.
Begitu pula ketika Umar bin Khattab dibaiat sebagai khalifah, sibuk melakukan penyebran Islam ke berbagai negara dan menetapkan uang sebagai mana yang sudah berlaku. Hanya pada tahun 18 H, menurut riwayat tahun 20 H, dicetak Dirham Islam. Akan tetapi Dirham tersebut, bukan cetakan asli Islam, akan tetapi masih mengkuti model cetakan Sasanid berukiran Kisra dengan beberapa tambahan berupa ukiran di lingkaran yang meliputi ukiran Kisra ditambah ukiran beberpa kalimat tauhid dalam jenis tulisan Kufi, seperti kalimat Bismillah, Bismillah Rabbi, Alhamdulillah, dan pada sebagian lagi kalimat Muhammad Rasulullah.
Ukuran Dirham Islam ketika itu adalah 6 daniq dan ukuran setiap 10 dirham adalah 7 mitsqal sebagaimana pada masa Nabi Saw. Ketika itu ukuran hanya dalam ingatan maka pada masa Umar dituliskan di cetakan dirham.
Pada masa Ustman bin Affan, dicetak dirham seperti model dirham Khalifah Umar bin Khattab dan ditulis juga kota tempat pencetakan dan tanggalnya dengan huruf Bahlawiyah dan salah satu kalimat Bismillah, Barakah, Bismilah Rabbi, Allah, dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi.
Ketika Ali bin Abi Talib menjadi khalifah, beliau mencetak dirham mengikuti model kahlifah Usman bin Affan dan menuliskan di lingkarannya salah satu kalimat Bismillah, Bismillah Rabbi, dan Rabiyallah dengan jenis tulisan Kufi.
3. Uang pada masa Dinasti Umawiyah
Pencetakan uang pada masa dinasti Umawiyah semenjak masa Muawiyah bin Abi Sofyan masih meneruskan model Sasanid dengan menambahkan beberpa kata tauhid seperti halnya pada masa Khulafaurrasyidin.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, setelah mengalahkan Abdullah bin Zubair dan Mush’ab bin Zubair, beliau menyatukan tempat percetakan. Dan pada tahun 76 H, beliau membuat mata uang Islam yang bernafaskan model Islam tersendiri, tidak ada lagi isyarat atau tanda Byzantium atau Persia. Dengan demikian, Abdul Malik bin Marwan adalah orang yang pertama kali mencetak dinar dan dirham dalam model Islam tersendiri.
4. Uang Pada Masa Dinasti Abbasiah
Pada masa Abbasiah, pencetakan dinar masih melanjutkan cara Dinasti Umawiyah. Al-Saffah mencetak dinarnya yang pertama pada awal berdirinya Dinasti Abbasiah pada tahun 132 H mengikuti model dinar Umawiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukirannya.
Sedangkan dirham, pada awalnya ia kurangi satu butir kemudian dua butir. Pengurangan ukuran dirham terus berlanjut pada masa Abu Ja’far al-Manshur, dia mengurangi tiga butir hingga pda masa Musa al-Hadi kurangnya mencapai satu karat. Dinar menjadi tidak seperti aslinya, pengurangan terus terjadi setelah itu. Namun demikian nilainya, nilainya tetap dihitung seperti semula. Al-Maqrizy berkata: “Pada bulan Rajab tahun 191, dinar Hasyimiah mengalami pengurangan sebanyak setengah butir dan hal itu terus berlanjut sepanjang periode tapi masih berlaku seperti semula.”
Dengan demikian kita dapat membedakan dua fase pada masa Dinasti Abbasiah. Fase pertama, terjadi pengurangan terhadap ukuran dirham kemudian dinar. Fase kedua, ketika pemerintahan melemah dan para pembantu (Mawali) dari orang Turki ikit seta dalam urusan Negara. Ketika itu pembiayaan seamakin besar, orang-orang sudah menuju kemewahan sehingga uang tidak lagi mencukupi kebutuhan. Negara pun membutuhkan bahan baku tambahan, terjadilah kecurangan dalam pembuatan dirham dan memcampurkannya dengan tembaga untuk memperoleh keuntungan dari margin nilai tertulis dengan nilai actual.
Para fuqaha menolak pencetakan dirham yang curang karena terjadi pengrusakan terhadap uang, merugikan yang berhak, dan menyebabkan naiknya harga-harga (inflasi). Inflasi tersebut disebabkan nilai uang dirham tertulis melebihi dari nilai yang sebenarnya.
D. Definisi Uang
Begitu banyak para ahli ekonomi yang mendefinisikan arti uang. Mereka memiliki cara pandangan tersendiri terhadap hakekat uang. Sehingga masih belum ada kata sepakat tentang arti uang yang spesifik.
Menurut Dr. Muhammad Zaki Syafi’i mendefinisikan uang sebagai: “Segala sesuatu yag diterima oleh khalayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban.”
J. P Coraward mendefinisikan uang sebagai: “Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagai standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.”
Boumoul dan Gandlre berkata: “Uang mencakup seluruh sesuatu yang diterima secara luas sebagai alat pembayaran, diakuai secara luas sebagai alat pembayaran utang-utang dan pembayaran harga barang dan jasa.”
Dr. Nazhim al-Syamry berkata: “Setiap sesuatu yang diterima semua pihak dengan legalitas tradisi ‘Urf atau undang-undang, atau nilai sesuatu itu sendiri, dam mampu berfungsi sebagai media dalam proses transaksi pertukaran yang beragam terhadap komoditi dan jasa, juga cocok untuk menyelesaikan utang-piutang dan tanggungan, adalah termasuk dala lingkup uang.”
Dr. Sahir Hasan berkata: “Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktivitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajibannya.”
Berdasarkan definisi-definisi yang telah diutarakan di atas, maka kita bisa membedakan definisi uang dalam tiga segi:
a. Definisi uang dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagai standar ukuran nilai, media pertukaran, dan sebagai alat pembayaran yang tertunda deferred payment.
b. Definisi uang dengan melihat karakteristinya, yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas oleh tiap-tiap individu.
c. Definisi uang dari segi peraturan perundangan sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan hukum dalam menyelesaikan tanggungan kewajiban.
Apabila kita perhatikan kembali secara seksama dari sekian banyak definisi tersebut, maka kita akan menemukan sebagian menekankan dasar hukumnya sesuai peraturan perudangan, sebagian yang lainnya melihat dari dasar karakteristik dan fungsi-fungsi dalam ekonomi, dan sebagin lagi mencakup ketiga poin tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Uang merupakan sesuatu yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia. Ini dimungkinkan karena penggunaan dan konsep uang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dinar adalah mata uang emas yang diambil dari Romawi dan dirham adalah mata uang perak waritsan peradaban Persia.
Bangsa arab di Hijaz pada masa jahiliah belum memiliki mata uang tersendiri. Mereka menggunakan mata uang yang merka peroleh berupa Dinar Emas Hercules, Byziantum dan Dirham perak Dinasti Sasanid dari Iraq, dan sebagian mata uang bangsa Himyar, Yaman.
Pencetakan uang pada masa dinasti Umawiyah semenjak masa Muawiyah bin Abi Sofyan masih meneruskan model Sasanid dengan menambahkan beberpa kata tauhid seperti halnya pada masa Khulafaurrasyidin.
Pada masa Abbasiah, pencetakan dinar masih melanjutkan cara Dinasti Umawiyah. Al-Saffah mencetak dinarnya yang pertama pada awal berdirinya Dinasti Abbasiah pada tahun 132 H mengikuti model dinar Umawiyah dan tidak mengubah sedikitpun kecuali pada ukiran-ukirannya.
[1]Mahmud Muhammad Babelli,al-Iqtishad Fi Dhau’i al-Suariat al Islamiyah, Dar al-Kitab al-Lubnani,Beirut,cet.1,1975,hlm.18-19.
[2]Ja’far bin Ali al-Dimasyqi,al-Isyarat ila Mahasin al-Tijarah,Tahqiq,al-Basyari al-Syorbaji,percetakan al-Ghad,Alexandria,cet.1977,hlm.20-21
[3]Ali bin Yusuf al- Hakim,al-Dohat al-Musytabakah fi Dhawabith Dar al-Skkah,po.ct.,hlm.63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar